Apa yang dirasakan oleh seseorang manakala dokter memvonisnya terkena penyakit kusta?
Tentu saja perasaannya akan kecewa, sedih, pesimis dan campur aduk. Apalagi selama ini kusta seolah menjadi penyakit yang dinilai rendah oleh sebagian masyarakat.
Padahal kusta juga penyakit yang
keberadaannya sama dengan penyakit lain, yang apabila diberi obat secara rutin
akan sembuh. Namun sebaliknya, jika tidak mendapat penanganan yang baik maka
penyakit kusta tidak akan sembuh dan justru dapat menularkan ke orang lain.
Sebagai bagian dari masyarakat yang cerdas, tentu kita
harus mencari tahu seberapa besar berbahayanya kusta di lingkungan kita. Hal
ini tentu saja agar tidak ada stigma negative yang melekat terus menerus kepada
penderita kusta. Zaman sudah semakin maju, tentu kita harus mengubah cara
pandang kita.
Beruntung sekali saya diberi kesempatan untuk dapat
menambah wawasan terkait penyakit kusta ini. Dalam acara talkshow yang diadakan
secara live di Youtube pada tanggal 28 April 2021, saya berkesempatan
mendengarkan pemaparan yang bagus dan berkualitas mengenai Dinamika
Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas pada Kusta di Lapangan.
Acara yang diadakan oleh Berita KBR dan juga NLR
sebagai organisasi non
pemerintah yang bergerak di bidang pemberantasan kusta ini sangat bagus untuk mengedukasi
seluruh masyarakat apabila suatu ketika menemukan penderita kusta di lingkungan
tempat tinggalnya.
Sebelum berbicara lebih lanjut, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu penyakit kusta agar tidak salah dalam bersikap. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium leprae dimana yang diserang pertama kali adalah bagian kulit manusia.
Gejala
awal yang ditimbulkan oleh penyakit kusta adalah bercak berwarna putih pada
kulit yang bisa menyebar di beberapa bagian. Bercak tersebut tidak menyebabkan
gatal namun jika tidak mendapat pengobatan lebih lanjut, maka bisa menimbulkan
risiko menular pada orang lain.
Adanya
bercak putih pada hampir seluruh kulit tubuh penderita kusta membuat pasien
merasa rendah diri hingga akhinya tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat
sekitar.
Talkshow ini dibawakan oleh dua orang yang berkompeten di bidangnya, yaitu
11. Dr. M. Riby Machmoed MPH. Sebagai Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia
22. Ibu
Sierly Natar, S.Kep. sebagai Wasor (Wakil Supervisor) penyakit TB/Kusta pada
Dinas Kesehatan, kota Makassar.
Berikut penjelasan yang saya dapatkan setelah
menyaksikan talkshow dengan tema Dinamika Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas pada Kusta
di Lapangan
dari kedua narasumber.
Insight Dari dr. M. Riby Machmoed MPH
Penyakit kusta di Indonesia sendiri menurut dr. M. Riby Machmoed MPH sudah menunjukkan penurunan angka yang sangat siginifikan dari tahun ke tahun, berdasarkan data yang beliau terima.
Terbukti pada tahun 2020 penderita kusta berjumlah 13.180, dimana angka ini lebih rendah dibanding tahun 2019 yang berjumlah 19.900 untuk tingkat nasional.
Beberapa provinsi di
Indonesia yang masuk dalam jumlah besar penderita kusta antara lain:
1.
Jawa
Timur
2.
Jawa
barat
3.
Papua
4.
Jawa
Tengah
5.
Papua
Barat
Seperti yang disampaikan oleh dr. M. Riby bahwa ada
beberapa langkah yang dilakukan oleh tenaga kesehatan agar penderita kusta
dapat lebih mandiri dalam melakukan perawatan, yaitu:
1Melakukan
penyuluhan apakah ada kelainan fungsi saraf yang diderita oleh penderita kusta.
2Melakukan
pendampingan dimana nantinya pasien akan diajarkan bagaimana merendam serta
menggosok bercak di kulit dengan menggunakan batu apung. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi penebalan di kulit.
3.Melindungi
bagian tubuh yang terasa sakit karena reaksi kusta, seperti misalnya tangan
bengkok karena mati rasa karena kusta.
Pendampingan ini dijelaskan oleh dr. M.Riby Machmoed
dikarenakan tenaga kesehatan tidak bisa 24 jam memantau pasien penderita kusta,
sehingga pasien akan diberikan kemampuan merawat dirinya sendiri selama berada
di luar jam kerja tenaga kesehatan.
Insight Dari Ibu Sierly Natar, S.Kep
Menurut Ibu Sierly Natar, S.Kep, bahwa yang terjadi di lapangan adalah pasien kusta sendiri yang menarik diri dan malu begitu mengetahui dirinya didiagnosa menderita kusta.
Justru tenaga kesehatan berusaha mengupayakan untuk mengedukasi serta
memberi dukungan moril hingga akhirnya pasien sadar dan mau untuk diobati.
Memang penyakit kusta ini walau sudah lama ada di dunia, namun masih menjadi polemik dikarenakan adanya stigma di masyarakat.
Bahkan yang terjadi pada beberapa kasus, minimnya informasi dan pengetahuan
tenaga kesehatan pun mampu membuat mereka seolah-olah melakuka diskriminasi
terhadap pasien kusta. Padahal tidak demikian adanya.
Untuk meminimalkan stigma negatif di masyarakat
terhadap pasien kusta ini, diharapkan:
1. Pasien
tidak malu untuk mengakui bahwa dirinya terdiagnosa punyakit kusta
2. Keluarga
yang tinggal serumah tidak perlu menutupi jika ada anggota keluarganya yang
teridentifikasi kusta. Hal ini untuk mempermudah dalam melakukan pengobatan.
3.Pembekalan
ilmu dan pengetahuan terhadap tenaga kesehatan di daerah yang tingkat
penyebaran penyakit kustanya tinggi, agar para tenaga medis ini siap menerima
pasien kusta tanpa ada kemungkinan melakukan diskriminasi, karena sudah tahu
cara penanganannya.
Penutup
Bahwa dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan
agar penderita kusta tidak semakin dikucilkan di masyarakat. Berbagai upaya
dilakukan oleh tenaga kesehatan agar penderita kusta dapat lebih mandiri dalam
mengobati serta merawat penyakitnya yang memerlukan perhatian khusus.
Mari mulai sekarang kita support para penderita kusta
agar mereka bisa lebih mandiri dalam melakukan pengobatan di rumah serta rutin
mengonsumsi obat supaya dapat sembuh lebih cepat.
Tidak ada komentar
Hai, silahkan tinggalkan komen, pesan dan kesannya. Tapi maaf untuk menghindari spam dimoderasi dulu sebelum dipublikasi ya.